Hello, everyone. Welcome again to my Short Pieces. I know it’s a little too early but i can’t help but to post it. Not too long ago a friend said that my writing should be in Indonesia more since i am Indonesian. There’s a part of me that feel slightly annoyed with that because i do write in Indonesia with or without me posting in this platform. But i won’t let that get into my head so let me share a bit of my work in Indonesia to you all. I hope you enjoy it, and tell me what you think.
L.
Kecapi
Tuhan bukan tak paham penciptaan, meski anak-anak Nya lahir tak seragam. Pun kau dan aku.
Di mata-Nya, kau penyimpuh terbaik. Di mata Tuhanku, aku penoda.
Letak kesalahan ada pada pertemuan.
Ada doa yang tak bisa ditembus dawai, karena tangan pemetiknya berbeda.
Jangan salahkan Dia yang merimba,
Kita hanya seberkas lantunan senar, sebentar lagi kita temui akhir.
Asmarandana
Pernah suatu ketika, bapak bersiul, siulnya jadi kidung: tembang terbata-bata.
Tentang seorang pria, dua puluh lima tahun memaku di depan stasiun tua. Tak kenal peluh apalagi jemu.
Pagi buta sekali, ia terduduk manis. Jika ditanya, ia menunggu Anggita.
Nyanyian bapak berhenti.
Dua puluh lima tahun sebelum renta, si pria gila lekas lekas menjanjikan perkawinan yang berair tuba.
Tak pelak, khianat nyata.
Bapak bersiul lagi. Siulnya jadi kidung, tembang sepatah patah
Pria gila di stasiun tua sudah pensiun. Mengemas usia tanpa menuntut anggita.
Bongkah-Bongkah Jarak
Katamu, tidak ada rindu yang sistematis.
Rasa itu mencak-mencak. Menggauli kerapuhan. Di lain waktu, sesenggukan.
Dewasa tidak tahu diri.
Sejauh apa rasa sakitnya? Anyer sampai panarukan?
Ingin ku langkahi markah markah menuju pelukmu. Mencemooh terik. Menyudahi lambaian tangan.
Tapi katamu sambil tersenyum, sampai jumpa lagi lain minggu.
Sampai jumpa lagi.
Lagi.