Short Pieces #5

Lintang
3 min readMay 11, 2022

--

Everyone, welcome again to my short piece. I have to say that i was not mentally okay when i finished this. I was having a hard time mentally and to be honest, i nearly gave up on my poems. But what a better way for me to escape my own thoughts if not by writing? so here they are now. I know it’s far from satisfying but I hope you enjoy these poems as i put a lot of sweat and tears to finish them. Thankyou. Stay safe and sane.

L.

Kepada Urusan-Urusan Yang Belum Selesai.

The Man Who Sleeps (1974) — Bernard Queysanne

Kepada urusan urusan yang belum selesai:

Aku semalaman melotot. Memandangi langit langit dari kasur.
Seumpama kanvas besar, membentang dari ujung kepala,
tempat minyak bercampur air.
Tempatku mengutak atik takdir.
Tempurung lututku kaku,
Aku bertekuk, memeluk, serupa janin.
Ketakutan akan dunia.

Sunyi menimangku.
Ada dekut burung kukuk, suaranya hinggap lalu hilang ditelan knalpot bemo.
Suara ketel menjerang air, suara tetanggaku meracik gumul cerutu, bersahut sahutan, bekerjaran dengan suara dentang nadiku.

Di masa depan, setan di dalam kamarku dijuluki anxiety.

Ia duduk di atas lemari, menertawakan periuk keberuntunganku yang kosong melompong.
Kadang, ia ikut menangis, kala ku bilang aku ingin pergi.
Kadang ditunjuknya tempelan impian dan doa, foto keluarga, kekasih, teman,

Di penghujung malam, ketika ku cium sujud di atas permadani kecil,
kepada mereka ku meminta maaf:

kepada mimpi yang tak lekas terjadi
Impian yang gugur tereliminasi,
Kepada doa doa yang tak terpanjat
Kepada tekad yang tak terlalu bulat
Pada asa yang ku elakkan.
Kepada-Nya yang menitipkan hidup
Kepada orang orang terkasih
Kepada diriku.

Rubanah

Kaki berjingkat kau jejakki tekel berlumut,
sarang laba laba melata di langit langit,
Udara keruh menghunus hidung,
Kau kerjapkan kelopak mata,
Membiasakan diri pada ruang nircahaya,
matamu mematri siluet debu.
Rubanah kosong, kecuali oleh kotak kotak yang tak kau sentuh lagi.

Isinya menghantui:
Aksesoris usang malam natal: penyesalan dan rasa bersalah, kepedihan ditinggal kekasih, kegagalan hidup silih berganti,
orang orang tercinta yang tak lagi ada.

Kau muntahkan dari dasar hati,
bungkus dalam wadah kedap udara dan kau duduki semalaman dengan kaki menyila.
Kau bilang agar tak kabur kemana mana.
Kau plester tiap sudut dengan keriaan pura-pura
Trauma panjang yang kau balut dengan pita, seutas senyum yang kau paksakan.

Hasilnya rapih. Mengonggok di sudut rubanah,
tempat yang kau gembok dengan sandi fibonacci,
agar tak kau masuki lagi.

Malam ini, sekali lagi,
kau kunjungi rubanah,
lampu teplok dalam genggaman,
Cahayanya temaram,
tak bakal mengiluminasi tumpukan duka
Tapi rubanah tak butuh peziarah.
Biar tak ada luka mengaduh
Biar yang mati mengabu

Kosher

Shiva Baby (2021) — Emma Seligman

On midnight supper,
Eyes of the deity watch me,
as the night bleeds of ashes, and mud, and anger.
I took a fistful of my flesh, eating my heart.
On the first chew:
A flavor of mortality,
But my tongue search for purity

Deity put my chin in her palm and whisper “treif”
So i spit every tissue
And i keep thinking why
it only tastes of agony.

A Little of Life

Before I Disappear (2014) — Shawn Christensen

So little of life, so much ink wasted on parentheses
Inserted with what if(s)
So little of life, so many hour caught on question marks
Of where did i do wrong(s)

--

--

Lintang
Lintang

Written by Lintang

a dentist who writes her heart out. [She/her]

No responses yet